News and Media
Peringati Pekan World AMR Awareness Week (WAAW) 2023: Sarwendah Berbagi Tips Berkomunikasi Efektif Hindari AMR di ICU
Jakarta, 29 November 2023 - World AMR Awareness Week (WAAW) atau pekan kesadaran Antimicrobial Resistance (AMR) yang ditandai dengan kolaborasi multi stakeholders menjadi momentum penting bagi masyarakat dunia agar memiliki kesadaran tentang bahaya resistansi antimikroba. Salah satu upaya untuk memitigasi AMR adalah melalui edukasi publik.[1] Pfizer Indonesia sebagai perusahaan biofarmasi inovatif, mendukung pentingnya kesadaran AMR ini melalui webinar “Memitigasi Risiko AMR di ICU melalui Komunikasi yang Optimal antara Nakes dan Keluarga Pasien: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna” pada Rabu, 29 November 2023.
AMR adalah suatu kondisi di mana mikroba penyebab infeksi pada tubuh pasien sulit untuk dilawan oleh obat antibiotik, antivirus atau antijamur; dan akhirnya menyebabkan pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama. Masalah ini adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang serius, dimana WHO telah memperkirakan akan terjadi 10 juta kematian pada tahun 2050 karena peningkatan kasus AMR.[2]
“Sejalan dengan tema World AMR Awareness Week tahun ini ‘Preventing Antimicrobial Resistance Together’, Pfizer Indonesia bekerjasama dengan Indonesia One Health University Network (INDOHUN), serta pakar kesehatan dan komunitas pasien, menyosialisasikan gerakan #JitudiICU untuk mendorong penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional di unit perawatan intensif (ICU). Kami harap gerakan ini dapat meningkatkan kesadaran publik dan para pemangku kepentingan terkait untuk menekan risiko terjadinya AMR.” ungkap Nora T. Siagian, Presiden Direktur Pfizer Indonesia pada acara webinar.
Lebih lanjut, Nora menjelaskan peningkatan pemahaman mengenai risiko terjadinya AMR dapat tercapai melalui komunikasi dua arah yang produktif antara tenaga kesehatan dengan pasien atau keluarganya. Ketika terdapat keluarga atau kerabat yang harus dirawat di ICU, seringkali keluarga pasien merasa bingung, takut, dan panik. Akibatnya, mereka sangat mengandalkan petugas kesehatan untuk memberikan solusi. Padahal, komunikasi dua arah diperlukan agar kedua pihak memiliki tingkat pemahaman yang sama tentang kondisi pasien dan berorientasi pada peningkatan kualitas perawatan pasien,[3] termasuk dengan meminimalkan risiko terjadinya AMR di ICU.
ICU merupakan salah satu tempat dimana pasien menerima antibiotik sebagai salah satu terapi utama untuk menyembuhkan infeksi [4]. Untuk itu, penggunaan antibiotik secara bijak dan rasional sangat penting untuk dipahami. Salah satu upaya untuk mendorong pengobatan yang jitu di ICU adalah dengan menciptakan kesempatan komunikasi yang produktif antara pasien dengan tenaga kesehatan yang bertugas. Namun banyak dari masyarakat yang ragu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.
Sarwendah, seorang artis dan juga ibu rumah tangga memiliki perhatian khusus pada pola komunikasi yang jelas dan berkesinambungan antara pasien dan dokter. Ia meyakini komunikasi adalah kunci untuk kesembuhan pasien. Hal ini dirasakan langsung saat ia merawat suaminya, Ruben Onsu. “Ketika suami saya dirawat di ICU, saya berkomunikasi intens dengan dokter untuk mengetahui perkembangannya, serta memahami obat-obatan yang diberikan. Jangan sampai, kita tidak mengetahui perawatan yang diberikan pada anggota keluarga sendiri, terlebih lagi tentang penggunaan antibiotik,” ujarnya pada acara webinar.
“Dokter membantu saya memahami tentang penggunaan antibiotik yang tepat, agar pasien bisa sembuh dan tidak terkena AMR. Pengetahuan tentang AMR sangat penting karena berdampak pada perawatan kesehatan jangka panjang pasien. Saya ingin agar pengalaman saya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk memahami dampak AMR dan cara mencegahnya,” tambahnya.
Dalam acara ini, Sarwendah menyampaikan 4 (empat) tips berkomunikasi yang efektif untuk menghindari AMR di ICU yang dapat dilakukan pasien atau keluarganya ketika berdiskusi dengan tenaga kesehatan:
Ketika pasien baru masuk ke ICU, prioritas tenaga kesehatan adalah menstabilkan kondisi dan menyelamatkan nyawa pasien.[5] Oleh karena itu, bisa terkesan tenaga kesehatan belum menyediakan waktu untuk melayani keluarga pasien untuk berdiskusi. Pada kondisi ini, sebaiknya keluarga pasien memberikan waktu dan ruang bagi tenaga kesehatan untuk bekerja.
Setelah tindakan darurat selesai dan kondisi pasien cenderung stabil, keluarga pasien bisa mulai bertanya kepada tenaga kesehatan terkait tentang kondisi terkini dan semua tindakan yang baru saja dilakukan terhadap pasien. Keluarga juga bisa bertanya tentang pengobatan yang akan diberikan selanjutnya, terutama pemberian antibiotik empirik pada awal masa perawatan.[6]
Sebagaimana diatur pada Permenkes RI 290/2008, pasien berhak untuk menerima informasi yang lengkap mengenai rekomendasi medis dari tenaga kesehatan.[7] Di sisi lain, tenaga kesehatan pun memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dan melakukan edukasi kepada pasien.[8] Maka, mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara detail seputar beberapa topik, misalnya penggunaan antibiotik, perkembangan kondisi pasien, dan risiko terjadinya resistansi AMR pada pasien adalah hal yang normal, bahkan positif.
Bertanyalah pada tenaga kesehatan dengan sabar, agar penjelasan dapat diberikan secara lengkap dan dipahami dengan baik[9]. Jika tenaga kesehatan terlihat begitu sibuk sehingga susah mencari kesempatan untuk bertanya tentang perawatan pasien di ICU, maka keluarga pasien bisa membuat perjanjian tentang waktu yang tepat untuk bertanya dan berdiskusi tentang kondisi terkini pasien dengan tenaga kesehatan terkait.
Dengan begitu, pihak keluarga pasien pun bisa memperkirakan waktu dan menyiapkan pertanyaan yang lebih matang pada saat diskusi berlangsung. Baik keluarga pasien maupun tenaga kesehatan tentu menginginkan yang terbaik untuk pasien, jadi tidak ada salahnya saling menjaga etika dalam berinteraksi.
Setelah tenaga kesehatan memberikan rekomendasi medis, pihak keluarga pasien bisa bertanya lebih jauh atau meminta penjelasan atas hal-hal yang kurang dipahami. Pihak keluarga pasien perlu memahami secara utuh tentang diagnosis, tindakan medis, komplikasi, risiko, dan pilihan-pilihan tindakan, sebelum memberikan persetujuan. Terutama terkait pemberian antibiotik, pihak pasien bisa bertanya lebih jauh mengenai alasan, jenis, dosis, lama penggunaan, manfaat, dan risiko terkait penggunaan antibiotik tersebut di ICU.[10]
Sepakat dengan Sarwendah, dr. Pratista Hendarjana, Sp. An-KIC*, Dokter Spesialis Anestesi dan Konsultan Perawatan Intensif juga menyetujui komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan dapat mempercepat proses pengobatan di ICU.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan bahwa di tengah kondisi pasien yang sangat lemah, tugas dokter dan tenaga kesehatan lainnya adalah untuk memastikan bahwa pesan tentang perawatan dan penggunaan antibiotik yang rasional, serta disampaikan dengan jelas, dan dapat dipahami oleh pasien maupun keluarganya. Oleh karena itu, beliau mengajak para dokter dan tenaga kesehatan untuk memberikan perhatian khusus pada kualitas komunikasi dengan pasien, terutama di lingkungan ICU di mana perawatan seringkali kritis dan kompleks.[11]
"Ini bukan hanya tentang memberikan informasi saja, tetapi juga tentang mendengarkan. Pasien di ICU sering kali dalam kondisi yang memerlukan pemahaman dan kehadiran ekstra dari tim perawatan.” pungkasnya.
Melalui komunikasi yang efektif antara pasien dan tenaga kesehatan maka akan berkontribusi pada tindakan medis yang tepat waktu (right time), tepat pasien (the right patient condition), dan tepat guna (the right use) sesuai semangat gerakan edukatif #JitudiICU.
***
Catatan untuk Redaksi:
Jitu di ICU merupakan gerakan edukasi kesehatan bagi masyarakat dan tenaga kesehatan yang didukung oleh Pfizer Indonesia dan mitranya dengan tujuan mendorong penggunaan antimikroba yang bijak & rasional dengan tiga prinsip penting: Tepat Waktu, Tepat Pasien dan Tepat Guna. Selain itu, gerakan ini menekankan pentingnya komunikasi dua arah antara keluarga pasien dan tenaga kesehatan perlu membangun pemahaman tentang bahaya resistansi antimikroba (AMR) serta cara mengatasinya.
Tentang Pfizer: Terobosan Yang Mengubah Hidup Pasien
Di Pfizer, kami menerapkan ilmu pengetahuan dan beragam sumber daya global kami guna menciptakan terapi bagi masyarakat yang dapat memperpanjang dan meningkatkan kualitas hidup mereka secara signifikan. Kami berusaha keras untuk menetapkan standar pada kualitas, keamanan dan nilai dalam penemuan, pengembangan dan pembuatan produk layanan kesehatan, termasuk obat-obatan dan vaksin yang inovatif. Setiap harinya, mitra kerja Pfizer di seluruh dunia bekerja di berbagai negara maju dan berkembang untuk meningkatkan kesehatan, pencegahan, perawatan dan penyembuhan yang mampu melawan berbagai penyakit yang paling ditakuti saat ini. Sejalan dengan tanggung jawab kami sebagai salah satu perusahaan biofarmasi inovatif perintis di dunia, kami berkolaborasi dengan penyedia layanan kesehatan, pemerintah, dan komunitas lokal untuk mendukung dan memperluas akses layanan kesehatan yang terpercaya dan terjangkau di seluruh dunia. Selama lebih dari 170 tahun, kami bekerja untuk membuat perubahan bagi semua yang mempercayai kami.
Untuk mengetahui informasi tentang Pfizer di Indonesia, silakan kunjungi www.pfizer.co.id serta ikuti kami di Instagram dan YouTube @pfizer_id.
Pfizer Indonesia Media Contact
Jetsadanee Iamsupatsawat
+66 92 259 5536
[email protected]
PT. Pfizer Indonesia
28th Floor World Trade Center 3
Jl. Jend. Sudirman Kav. 29-31
Jakarta 12920, Indonesia
*tbc
[1] World Health Organization, World AMR Awareness Week 2023. Diakses pada 11 Oktober 2023 melalui https://www.who.int/news-room/events/detail/2023/11/18/default-calendar/world-amr-awareness-week-2023
[2] World Health Organization, New report calls for urgent action to avert antimicrobial resistance crisis. Diakses 03 November 2023 melalui https://www.who.int/news/item/29-04-2019-new-report-calls-for-urgent-action-to-avert-antimicrobial-resistance-crisis
[3] Sujiasih, SKp, MPD, “Komunikasi Efektif dalam Pelayanan Kesehatan”, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, https://persi.or.id/wp-content/uploads/2018/04/komunikasi_efektif.pdf.
[4] [4] S. J. Martin and R. J. Yost, "Infectious diseases in the critically ill patients," Journal of Pharmacy Practice 24, no. 1 (2011): 35-43, last modified May 31, 2023, https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0897190010388906
[5] Dr. Frans Josef Vincentius Pangalila, SpPD KIC, et al., Pedoman Antibiotik Empirik di Unit Rawat Intensif (Jakarta: Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI), 2019), 2, https://perdici.org/icu-hcu-guidelines/.
[6] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan nomor 290 tahun 2008 (Jakarta, 2008).
*tbc
[7] Gatra, Phalita, “Kedudukan Perjanjian Terapeutik dan Informed Consent”, Hukum Online, diakses pada 4 Juli 2023, https://www.hukumonline.com/klinik/a/kedudukan-perjanjian-terapeutik-dan-iinformed-consent-i-lt5c5653b512dd0/
[8] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan nomor 290 tahun 2008 (Jakarta, 2008).
[9] ibid.
[10] ibid.
[11] “Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia”, Ikatan Dokter Indonesia, 2004, diakses pada 5 Oktober 2023.
Copyright © 2024 PT Pfizer Indonesia. All rights reserved.
PP-UNP-IDN-0134-OCT-2023